Ø Orde Lama
Pada masa sesudah
kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan
hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No.
X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah
parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada
masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13
Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai
yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut:
PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini
tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
"Deklarasi Bogor."
Ø Orde Baru
Orde
Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di
Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat
dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar
lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan
menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai
stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan
konsensus nasional.
Ada dua macam konsensus nasional, yaitu
:
1. Pertama berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama.
2. Sedangkan
konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Ø Pemilu di Masa
Reformasi
Berakhirnya
rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda.
Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus
dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun
nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu
menjadi agenda pertama.
Pemilu
pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih
suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis,
ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan
memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun
pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi
partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia
(Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator
siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung
dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan,
hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh
sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu
2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya
perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang
melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo
Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz),
berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan
meraih 60,95 persen.
2.
Bagaimana
pelaksanaan demokrasi pada era orde lama, orde baru, dan masa reformasi?
Jawab :
Ø Demokrasi pada Era Orde
Lama (1945-1965)
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan system parlementer pada masa ini tidak
dapat berjalan dengan semestinya. Ini kemudian memberi peluang bagi partai
politik dan lembaga legislatif untuk mendominasi pemerintahan. Dalam Kabinet
parlementer, koalisi parpol yang dibangun sangatlah rapuh sehingga usia kabinet
pada masa itu tidak dapat bertahan lama. Presiden dan tentara yang memiliki
peran penting justru tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam
konstelasi politik. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno untuk memberlakukan
kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan kembalinya
konstitusi ke UUD 1945, rakyat menaruh harapan yang sangat besar terhadap
kehidupan politik yang stabil dan demokratis. Namun pada kenyataannya,
pemerintahan yang terjadi bersifat otoriter yang terwujud dalam sistem
pemerintahan demokrasi terpimpin. Penerapan demokrasi terpimpin menyebabkan
penyimpangan-penyimpangan terhadap
Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi
terpimpin seperti yang dikemukakan oleh Presiden Soekarno yang dikutip oleh A.
Syafi’I Ma’arif adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, di mana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi
kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme, otokrasi, dictator. Selanjutnya
dalam pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Presiden Soekarno
menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar demokrasi terpimpin adalah : (1) tiap
orang diwajibkan untuk berbakti pada
kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan Negara; (2) tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan layak dalam
masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut pandangan Ma’arif, demokrasi terpimpin
menempatkan Soekarno sebagai pusat kekuasaan, sehingga terjadi absolutisme dan
tidak ada mekanisme checks and balances dri
legislatif terhadap eksekutif.
Ø Demokrasi pada Era Orde
Baru (1965-1998)
Pemerintahan
Orde Baru terbentuk tepat pada tanggal 1 Oktober 1965. Sejak itu sebagai Negara
kita telah berhenti berpikir dan merenung. Tidak ada lagi pemikiran politik (political thinking) seperti masa 1945-1965.
Barulah kemudian, setelah hubungan Soeharto dan militer mulai merenggang di
penghujung tahun 1980-an, ruang bagi wacana publik mulai tampak. Saat itulah
wacana baru seperti demokratisasi, kesenjangan social, gender, dan lingkungan mulai muncul.
Landasan
formal dari periode ini adalah Pancasila, UUD 1945, dan ketetapan-ketetapan
MPR. Orde Baru (Orba) melakukan koreksi total terhadap penyelewengan UUD 1945
yang terjadi pada era Orde Lama. Contohnya, menghapuskan Ketetapan MPRS No.
III/1963 tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup;
memberikan DPR-GR beberapa hak kontrol, tetapi tetap mempunyai fungsi membantu
pemerintah dan pimpinannya tidak lagi merangkap jabatan menteri. Orba menyebut
diri sebagai “Demokrasi Pancasila”.
Orde
baru berupaya menanamkan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik hanya bisa dicapai dengan membatasi partisipasi politik. Pada saat yang
bersamaan, masyarakat digiring ke pemahaman ini sebagai bagian utuh dari
Negara. Setiap individu harus mendarmabaktikan hidupnya, mendahulukan kewajiban
daripada hak. Masyarakat hidup dalam lingkup paham kekeluargaan, tidak ada
perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Pada
masa Orde baru, juga terdapat program indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). P4 dimaksudkan untuk menciptakan sebuah masyarakat
yang bebas dari nilai-nilai sektarianisme (terpisah atas golongan, budaya,
agama, dan sebagainya). Atau dengan kata lain, masyarakat yang terbebas dari
perbedaan pendapat.
Pada
satu titik, Orde Baru tak ubahnya sebuah panser pragmatisme yang berjalan tanpa
hambatan. Kritik menjadi sesuatu yang riskan untuk diambil. Ruang ekspresi
terasa sempit. Akhirnya, suara-suara alternatif mengambil jalan memutar dan
menggunakan medium yang sangat samar agar bisa disuarakan. Seni kemudian muncul
sebagai saluran ekspresi yang ampuh. Puisi Rendra, lagu Iwan Fals, atau pentas
Teater Koma mampu meloloskan beberapa keluh kesah kolektif bangsa ini ke
hadapan publik.
Konsep
Negara integralistik sendiri akhirnya melemah di penghujung Orde Baru.
Sementara itu, hubungan Soeharto dengan militer merenggang. Akhirnya, Soeharto
hanya bisa memperkuat hubungannya dengan satu pilar tersisa. Golkar sebagai
representasi golongan fungsional.
Ø Demokrasi pada Era
Reformasi (1998 - sekarang)
Mundurnya
Soeharto diikuti dengan pengangkatan B.J Habibie sebagai presiden. Sejak saat
itu, Prof. Dr. B.J Babibie menjadi Presiden RI yang ke-3. Masa pemerintahan
Habibie sangat singkat ± hanya 18 bulan.
Pemilu
yang relatif demokratis dan tertib berhasil dilaksanakan pada tanggal 7 Juni
1999, diikuti oleh 48 partai politik. Melalui pemilu itu dipilih anggota
DPR/MPR. Dalam sidang MPR hasil pemilu 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
terpilih sebagai Presiden menggantikan Habibie. Namun pada tahun 2001 Gus Dur dicopot dari kedudukannya oleh MPR
dan digantikan oleh Megawati Sukarnoputri.
Selama
masa itu berbagai langkah demokratisasi terus dilakukan. Salah satu yang pokok
adalah amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung selama 4 (empat) kali. Melalui
amandemen itu kehidupan ketatanegaraan RI ditata agar lebih sesuai dengan cita-cita
pemerintahan demokrasi. Selanjutnya, pemilu demokratis juga dilaksanakan pada
tahun 2004. Melalui pemilihan umum ini rakyat memilih anggota DPR dan DPRD,
serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lebih dari itu, dalam pemilu 2004
rakyat Indonesia juga memilih Presiden/Wakil Presiden secara langsung.
Pada
masa sekarang kita juga mencatat adanya kebebasan berorganisasi dan menyatakan
pendapat. Namun, kadang kita juga melihat ada nuansa kebablasan dalam
penggunaan kebebasan itu. Para demonstran sering mengeluarkan kata-kata kotor
dan menghina pihak yang didemo, seolah pihak yang didemo tidak memiliki
martabat dan harga diri. Massa kadang bertindak main hakim sendiri tanpa
mengingat bahwa seorang pencuri pun sebenarnya memiliki hak hidup, dan bahwa
kesalahan serta hukuman bagi seseorang mestinya ditentukan pihak yang
berwenang.
No comments:
Post a Comment