Sekitar
pertengahan tahun 1945, kepercayaan asli orang Dayak ini telah mempunyai nama
tersendiri yaitu Kaharingan. Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah
Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan
W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan,
yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama
Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah Kaharingan yang
artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Dalam bahasa Dayak
Ngaju sehari-hari kata Kaharingan berarti “hidup” atau “ada dengan sendirinya”
sementara dalam basa Sangiang yaitu bahasa para imam ketika menuturkan
mitos-mitos suci, Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan”.
Pada
zaman Jepang, Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat.
Untuk mencari simpati dan dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer
Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto, karena
itu pada zaman Jepang untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima
sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam
menangani kebudayaan.
Untuk
mengetahui lebih banyak tentang Kaharingan serta kebudayaan Dayak, pemerintah
Jepang menyediakan semacam Pusat Penelitian (Puslit) yang disebut dengan Bagian
Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan. Salah satu kegiatan Pusat Penelitian
yang berkedudukan di Banjarmasin dan di bawah pimpinan Prof. K. Uyehara adalah
melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk mengadakan survei dan
pendokumentasian adat dan kebudayaan Dayak. Dalam perjalanan ke pedalaman itu,
dibawa serta orang-orang lokal yang dianggap tahu banyak tentang Kaharingan dan
kebudayaan Dayak, antara lain Tjilik Riwut dan Damang Yohanes Salilah.
Kepercayaan
Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang)
pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu, mengingat adanya
persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk
korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan
yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya.
Tuhan
Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying / Ranying
Hattalla/ Alatalla . Istilah Hattala / Alatalla adalah pengaruh agama islam
dari suku melayu banjar.
Dewasa
ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu
Tanda Penduduk, dengan demikian suku Dayak yang melakukan upacara perkimpoian
menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkimpoian tersebut oleh
negara.
Tetapi
di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan ini tidak diakui
sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum
menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah
Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangka Raya,
Kalimantan Tengah.
Agama Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku dayak yang masih eksis hingga saat ini, sementara kepercayaan asli suku lain kebanyakan sudah punah ditelan perkembangan jaman
ReplyDeleteSiap terimakasih,,,,sekedar tambahan tolong cantumkan sejarah turunnya Bawi ayah ke desa tutuk juking untuk pertama kali mengajarkan orang Dayak untuk melakukan ritual adat dan adat kaharingan di desa tutuk juking atau bisa di kenal dengan nama TANGKAHEN
ReplyDelete